Mengapa Manusia
Perlu Beragama ?
Manusia, secara kodrati menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan, dimana
manusia dan alam sekitarnya tak kan mampu menandingi kekuatan itu. Segala sesuatu
tidak dapat manusia tentukan sendiri dan mengabulkannya, tapi mereka berharap pada
sesuatu yang pasti akan memberikan peluang harapan. Pengakuan seperti inilah
yang disebut dengan kepercayaan atau iman. Sedangkan macam kepercayaan maupun agama
yang sudah turun menurun dan membudaya membuat manusia memilih kepada apa atau siapa
mereka beriman. Keadaan ini menjadikan manusia untuk beragama.
Tak dapat dibayangkan jika manusia tidak mengenal agama sama sekali. Sama artinya
dia tidak akan menemukan kebahagian dan kedamaian
hidup, tidak ada aturan dan norma yang membatasi tingkah laku. Niscaya sulit untuk
dibedakan dengan hewan.
Kesimpulannya adalah manusia beragama karena memerlukan sesuatu dari agama itu.
Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan agama manusia mendapatkan nilai-nilai moral yang universal dan hal-hal
yang tak dapat dicapainya dengan akal.
· Mengapa Manusia Perlu Bernegara?
Secara terminologi, negara adalah organisasi tertinggi di antara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di wilayah tertentu, dan
mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan dari definisi oleh Roger H. Soltau,
negara tersebut bersama dengan alat atau wewenang yang mengatur persoalan bersama
atas nama rakyat. Oleh sebab itu bernegara dengan baik menjadi sangat urgen atau
mendesak bagi setiap warga negara.
Manusia sebagai makluk sosial, ia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan bantuan
untuk dapat memenuhi kebutuhannya, baik materi atau non-materi. Manusia yang sudah
begitu banyak jumlahnya, tak bisa dikendalikan lagi laju perkembangannya, secara
tidak langsung menuntut adanya aturan yang disepakati dan ditaati serta seorang
pemimpin. Begitu pula pembagian tugas sepaya tidak ada tumpang tindih satu sama
lain. Selain itu mereka juga membutuhkan seseorang yang memiliki otoritas guna melakukan
tindakan tertentu jika terjadi sesuatu dengan mereka. Dia juga harus sekaligus mampu
menjadi penengah atas semua konflik yang terjadi. Inilah yang mereka sebut sebagai
raja atau kepala Negara.
Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak dapat hidup dengan teratur, tertib
dan terjamin keamanannya tanpa adanya negara. Karena pada hakikatnya, dalam komunitas
sekecil apapun diperlukan adanya pemimpin dan aturan.
· Beberapa Faham Hubungan Agama dan Negara
Dalam buku Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani yang disusun oleh
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta disebutkan bahwa terdapat beberapa
paham menyangkut hubungan antara agama dan negara. Berikut di antaranya:
1. Paham Teokrasi
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah -menurut
paham ini- dijalankan berdasarkan menurut firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan
dalam masyrakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian,
urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga sebagai manifestasi Tuhan.
2. Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara
sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini,
negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan
agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler,
tidak dapat dipisahkan.
Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya
dianggap sebagai sekuler. Hal ini dikarenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi
legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan
keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi keagamaan
tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.
Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini
kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam
memahami dunia, dan oleh karena itu dipisahkan dari masalah-masalah pemerintahan
dan pengambilan keputusan.
Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme,
banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima
pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen
penting dalam ideologi Humanisme Sekuler.
Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh
sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah
hasil yang tak terelakkan dari Pencerahan
yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan
dan rasionalisme
dan menjauh dari agama dan takhayul.
Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai
arogan, mereka membantah bahwa pemerintaan sekuler menciptakan lebih banyak masalah
dari pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah
lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukkan bahwa negara
Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekuler. Seperti
contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara
gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan
negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari
negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia menyediakan
dana untuk pembangunan masjid.
Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukkan bahwa
negara-negara Skandinavia terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama,
secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekuler di dunia, ditunjukkan dengan
rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama.
Komentator modern mengkritik sekularisme dengan mengacaukannya
sebagai sebuah ideologi antiagama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme
itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun
tujuan utama dari negara sekuler adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama,
beberapa membantah bahwa hal ini juga menekan agama.
Beberapa filsafat politik seperti Marxisme,
biasanya mendukung bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalah
hal yang negatif. Di dalam negara yang mempunyai kepercayaan seperti itu (seperti
negara Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek di bawah negara sekuler.
Kebebasan untuk beribadah dihalang-halangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga
diawasi agar selalu sejalan dengan hukum sekuler atau bahkan filsafat umum yang
resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar kebebasan
beragama.
Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya
agama (seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan
pendermaan) tapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara,
mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme klasik menyatakan
bahwa negara tidak dapat "membebaskan" institusi beragama dari pajak karena
pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama.
Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama
bekerja pada ranahnya sendiri-sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam
isu nilai moral, kedua- duanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya
menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan
agama di bawah negara atau sebaliknya.
3. Paham Komunisme
Paham komunisme memandang hakikat hubungan negara dengan agama berdasarkan pada
filosofi materalisme dialektis dan meterialisme historis. Paham ini menimbulkan
paham atheis, yang berarti tidak bertuhan. Paham yang dipelopori oleh karl Max ini,
memandang agama sebagai candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992). Menurutnya,
manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama dalam paham ini, dianggap sebagai
suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Dari beberapa paham di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa paham sekuler
dan komunisme memiliki kesamaan persepsi yaitu pemisahan agama dengan negara. Bahkan
paham komunis meniadakan agama, sebab baginya agama adalah candu. Paham ini jelas
berlawanan dengan paham teokrasi yang menganggap bahwa agama dan negara tak dapat
dipisahkan. Adapun dalam Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan antara penyatuan
agama dengan negara serta pemisahan keduanya.
· Hubungan antara Agama dan Negara dalam Pandangan Islam
Menurut Munawir Sjadzali (1990:235-236), ada tiga aliran yang menanggapi hubungan
agama dan negara dalam Islam:
Paradigma Integralistik: merupakan paham
dan konsep hubungan agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan
suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga negara.
Paradigma Simbiotik: menurut konsep
ini, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik.
Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan
dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena
agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas.
Paradigma Sekularistik: beranggapan
bahwa ada pemisahan (dispartias) antara agama dan negara. Agama dan negara
merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sam lain memiliki garapan bidangnya masing-masing,
sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan
intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang
berlaku adalah hokum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social
contract dan tidak kaitannya dengan hukum agama.
Dari beberapa paham di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa paham sekuler
dan komunisme memiliki kesamaan persepsi yaitu pemisahan agama dengan negara. Bahkan
paham komunis meniadakan agama, sebab baginya agama adalah candu. Paham ini jelas
berlawanan dengan paham teokrasi yang menganggap bahwa agama dan negara tak dapat
dipisahkan. Adapun dalam Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan antara penyatuan
agama dengan negara serta pemisahan keduanya.
· Kontribusi Agama dalam Kehidupan
Berbangsa
Agama itu sangat
penting disegala aspek kehidupan umat manusia selain itu agama juga agama berperan
untuk menenangkan jiwa dan raga. Dengan agama yg
kita yakini hidup akan lebih baik dan indah. Dengan agama kita akan lebih bijak menyikapi sesuatu. Contohnya
saja di zaman Nabi Muhammad agama berperan penting dalam segala bidang termasuk
pemerintahannya.
Islam adalah solusi. Solusi segala permasalahan
di dunia ini dengan kesempurnaan ajarannya (syumul). Kesempurnaan ajaran
Islam dapat ditelaah dari sumber aslinya, yaitu Al-Quran dan Sunnah yang mengatur
pola kehidupan manusia, mulai dari hal terkecil hingga terbesar baik ekonomi, sosial,
politik, hukum, ketatanegaraan, budaya, seni, akhlak/etika, keluarga, dan
lain-lain. Bahkan, bagaimana cara membersihkan najis pun diatur oleh Islam.
Ajaran Islam
merupakan rahmatan lil 'alamin
(rahmat bagi semesta alam), artinya Islam selalu membawa kedamaian, keamanan, kesejukan,
dan keadilan bagi seluruh makhluk hidup yang berada diatas dunia. Islam tidak memandang
bentuk atau rupa seseorang dan membedakan derajat atau martabat manusia dalam
level apapapun. Islam menghormati dan memberikan
kebebasan kepada seseorang untuk menganut suatu keyakinan atau agama tanpa memaksakan
ajaran Islam tersebut dijalankan (laa ikrahaa fiddiin).
Landasan Yuridis
mengenai manusia dengan agama dan negara:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُم
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59)
· Kebijakan Politik tentang Hubungan antara Agama dan Negara
Dalam kehidupan bernegara, bidang politik sangat diperlukan. Namun semua ilmu
yang berhubungan dengan politik tidak dapat dipisahkan dengan ilmu dan konsep agama
yang telah ada. Pada agama ada suatu kalimat yang membuat dan merupakan konsep awal
politik yaitu “Allah memerintahkan kepada manusia untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan
keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi (Q. 6:151)”, jadi Allah melarang
perbuatan jelek, perbuatan jahat dan ketidakadilan. Ini dapat diartikan bahwa semua ilmu politik merupakan
bentuk nyata dari penggunaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai
contoh, dalam ilmu politik terdapat pemilihan pemimpim berdasarkan demokrasi, konsep
itu didapat dari ilmu agama yang tidak menginginkan adanya perpecahan para pejabat
yang akan menyengsarakan rakyat.
Dan masih banyak lagi yang merupakan konsep dalam agama dan diadaptasi serta di jadikan politik dalam berbangsa dan bernegara.
Dan masih banyak lagi yang merupakan konsep dalam agama dan diadaptasi serta di jadikan politik dalam berbangsa dan bernegara.
Secara khusus, bangsa
Indonesia merupakan kumpulan masyarakat yang multi kultural dan pluralistik di dunia.
Di Indonesia ada ratusan suku dan sub-suku dengan ciri khas sosio-kulturalnya masing-masing;
mempunyai aneka ragam bahasa suku dan sub-suku; ada banyak cara penyembahan kepada
Ilahi sesusai sikon hidup dan kehidupan; bahkan terdapat berbagai macam karakteristik
manusia, dan seterusnya.
Pada landasan atau
dasar utama perundang-undang di Indonesia, pendiri-pendiri bangsa telah melakukan
suatu kesepakatan bersama yang tertuang dalam dan melalui UUD 1945, bahwa negara
menjamin kebebasan bangsa Indonesia untuk beragama; dan bukan menentukan rakyat
memeluk salah satu atau hanya satu agama. Artinya, adanya peluang dan kesempatan
seluas-luasnya untuk keseluruhan rakyat dan bangsa, agar bisa memeluk atau menjadi
umat salah satu agama yang ada dan berkembang di Indonesia.
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia,
yaitu: agama Islam, Kristen
(Protestan)
dan Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah
pemeluk Islam,
6,96% Protestan,
2,9% Katolik,
1,69% Hindu, 0,72%
Buddha,
0,05% Kong Hu Cu,
0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang
pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No.
6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini
masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat
pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi,
Raelianisme
dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto
Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam
penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian
besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh
dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu
perkembangan agama-agama tersebut.
Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak
diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi
karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang
pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi
SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid
karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan
beragama dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru
juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi
bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
Persoalan kebijakan pemerintah
terhadap agama-agama di Indonesia sebenarnya sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan.
Pada masa awal perkembangan agama di Indonesia misalnya para raja yang memposisikan
agama sebagai instrument politik kerajaan mereka. Pada masa kolonial belanda agama
di Indonesia diperlakukan sebagai alat ntuk membela kepentingan kekuasaan di negri
jajahannya. Pada masa kemerdekaan sekarang ini politik pemerintah terhadap agama
di arahkan agar agama dan komunitas beragama berkonstribusi positif terhadap kemajuan
kehidupan berbangsa dan bernegara serta terhadap terwujudnya suasana aman, damai,
dan sejahtera.
Sedangkan perkembangan kebijakan
politik tentang agama sejak pemerintahan orde lama sampai pemerintahan pasca reformasi
memiliki perubahan yang signifikan. Di era Orde Lama, Soekarno mencoba untuk memisahkan
negara dengan agama melalui pemikiran sekulernya walaupun ketika itu banyak pihak
yang kontradiktif terhadap pemikirannya. Dilanjut dengan Soeharto yang pada masa
itu melarang keras agama untuk berkecimpung dalam dunia politik, karena kekhawatirannya
bahwa agama dapat mengambil masa yang dapat menjatuhkan pemerintahannya. Akhirnya
para pemeluk agama menghirup udara segar, pada saat pasca Reformasi, agama
telah diberi kebebasannya untuk ikut serta dalam perpolitikan negara selama tidak
melanggar hukum. Akan tetapi pemerintah saat ini cenderung tidak memperhatikan atau
mengabaikan agama-agama lokal yang terlebih dahulu ada di Indonesia, bahkan mendiskriminasi
hal tersebut.
Mungkin ini hadir untuk yang pertama kali di blog mba febrianti, kehadiran aku disini imbas dari acara jamtek 2013 indoor, dimana mba febrianti sebagai moderator dalam sesi talkshow. sangat mengagumi dengan pengalaman yg pernah mba alami dengan menginjakan kaki di negeri paman sam. sangat luar biasa.. salam blogger dari Tekim 2013 Islamic university of indonesia.. jangan lupa mampir balik ke blog aku ya mba.. hehe
BalasHapus